Say No To Ghibah

Sebagai kesempurnaan ciptaan dan sekaligus nikmat Allah yang diberikan kepada manusia adalah kemampuannya berbahasa, berbicara, dan berkomunikasi secara baik. Kemampuan berkomunikasi dan berbicara ini jika tidak dijaga secara baik oleh sang pengguna lidah, akan terpeleset kepada pembicaraan-pembicaraan yang dilarang oleh agama. Hal itu akan menimbulkan kerusakan hubungan sosial, karakter pribadi, dan memicu permusuhan antarsesama. Itu semua karena manusia tidak pandai menjaga lisannya dan penyakit yang sering menimpa lisan kita adalah ghibah.

Seolah telah menjadi makanan lezat sehari-hari, ghibah adalah roti manis santapan kita ketika sarapan pagi di rumah. Menu utama ketika makan siang, dan pengiring yang paling asyik sebelum kita memejamkan mata di atas tempat tidur. Rasanya aktivitas sehari-hari terasa tidak sempurna kalau tidak meng-ghibah alias membicarakan kejelekan, keburukan, dan kelemahan orang lain. Hal ini diperkuat dengan tayangan-tayangan infotainment yang nyata-nyata telah menggiring kita untuk menciptakan lingkungan rumah, kantor, kantin, dan tempat kita berkumpul sebagai ruangan ghibah yang mengasyikkan. Parahnya lagi, disadari atau tidak, ghibah hampir menjadi kebutuhan lisan kita setiap hari. Padahal Allah swt. telah memperingatkan dalam firman-Nya, "Dan janganlah di antara kamu yang menggunjing (meng-ghibah) sebagian yang lainnya, apakah ada di antara kamu memakan daging saudaranya sendiri yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik..."(QS. Al-Hujurat: 12)

Kata ghibah merupakan musytaq dari al-ghib, artinya lawan dari tampak, yaitu segala sesuatu yang tidak diketahui bagi manusia baik yang bersumber dari hati atau bukan dari hati. Maka ghibah bisa diartikan membicarakan orang lain tanpa sepengetahuannya, baik isi pembicaraan itu disenanginya ataupun tidak disenanginya, kebaikan maupun keburukan. Jika didefinisikan secara umum, ghibah terjadi jika seorang Muslim membicarakan saudaranya sesama Muslim tanpa sepengetahuannya tentang hal-hal keburukannya dan yang tidak disukainya, baik dengan tulisan maupun lisan, terang-terangan maupun sindiran. Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa nabi saw. pada suatu hari bersabda "Tahukah kalian apa itu ghibah? Jawab para sahabat, Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui. Maka kata nabi saw., engkau membicarakan saudaramu tentang apa yang tidak disukainya. Kata para sahabat, bagaimana jika pada diri saudara kami itu benar ada hal yang dibicarakan itu? Jawab nabi saw., jika apa yang kamu bicarakan benar-benar ada padanya maka kamu telah meng-ghibah-nya, dan jika apa yang kamu bicarakan tidak ada padanya maka kamu telah membuat kedustaan (fitnah) atasnya." (HR Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi)

Sudah menjadi kebiasaan kita, jika ada teman datang kepada kita membawa berita tentang seseorang, kita akan dibuat penasaran untuk mendengarkan, kemudian berkomentar, dan berpendapat sesuka hati kita tentang seseorang yang menjadi objek pembicaraan. Sehingga kita dibuat terlena dengan ghibah dan tidak merasa dosa dengan apa yang kita bicarakan. Kita langsung percaya dengan apa yang dikabarkan oleh saudara kita tanpa mempertimbangkan dan mengadakan chek and re-check (tabayyun) terlebih dahulu.

Dalam firman-Nya Allah swt. telah memberi penjelasan, "Wahai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu." (QS. Al-Hujurat: 6). 

Selain karena tidak adanya tabayyun terhadap orang yang membawa berita, lingkungan juga sangat memengaruhi terciptanya ghibah. Lingkungan yang terbiasa dengan hal-hal sepele akan mendorong terciptanya ghibah. Orang-orang yang terbiasa disibukkan dengan hal yang kecil dan tidak mengetahui masalah-masalah besar yang dihadapi oleh umat akan terus mencari-cari kesalahan orang lain, karena banyaknya waktu yang dimilikinya. Padahal jika waktu tersebut digunakannya untuk mengurus masalah-masalah umat yang sudah sedemikian gawat ini maka tidak akan ada waktu baginya untuk meng-ghibah. Hal ini juga dimungkinkan karena tidak mengerti tentang prioritas amal yang harus dilakukan.

Orang yang suka meng-ghibah adalah orang yang penuh dengan kedengkian dan iri hati. Ketika kedengkian telah bersarang di dalam hati maka matahari yang terang bersinar akan terlihat gelap-gulita. Tanaman yang indah merona akan tampak buruk dan sumpek. Tidak ada kebaikan yang terlihat, yang terlihat bagi orang seperti ini adalah kelemahan, keburukan, dan kejelekan saudaranya yang akan dijadikan bahan gunjingan kepada semua manusia yang ditemuinya. Jauh-jauh hari nabi kita telah mengingatkan, "Jauhilah olehmu hasad (iri dengki), karena hasad (iri dengki) akan menghancurkan kebaikan sebagaimana api yang melalap kayu bakar."

Seorang pengghibah biasanya suka menutupi kelemahan diri, orang yang tidak mau diketahui kelemahannya sehingga ia berusaha menjelek-jelekan orang lain. Hal ini dilakukannya karena merasa akan kalah pengaruh dan ketenaran dari orang yang di-ghibbah-nya, maka ia meng-ghibah orang tersebut untuk menutupi kekurangannya dan kelompoknya dari orang tersebut, sehingga orang-orang memujinya dan menganggapnya alim dan orang pun menjelek-jelekan orang lain yang di-ghibahnya. Padahal Allah telah memperingatkan, "Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengejek kaum yang lain, karena boleh jadi yang diejek itu lebih baik dari kamu (disisi Allah)... Dan janganlah kalian mencela diri kalian sendiri (saudara sesama Muslim), dan janganlah kalian panggil-memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk setelah kalian beriman, dan barangsiapa yang tidak segera bertaubat maka itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Hujurat: 11)

Akibat ghibah ini, jalinan persaudaraan di antara sesama Muslim menjadi rusak. Ikatan kepercayaan semakin retak dan permusuhan semakin merajalela. Mulut kita yang seharusnya dipenuhi dengan dzikir malah penuh dengan caci maki, perpecahan, dan silang sengketa yang tidak putus-putusnya di kalangan Muslim dan timbulnya kedengkian serta permusuhan. Kata-kata yang kasar dan cercaan, yang kesemuanya bukan akhlak yang Islami muncul. Padahal Allah swt. telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar memperkuat persaudaraan di antara mereka dan menyatakan bahwa persaudaraan itu sebagai salah satu tanda keimanan. Artinya seorang Muslim seharusnya menjaga kehormatan sesama Muslim yang lain. Alangkah indahnya hidup sesama Muslim jika kita renungkan sabda Rasulullah saw., "Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya sesama Muslim, maka Allah swt. akan membelanya dari neraka kelak di hari Kiamat."(HR. Tirmidzi dan Ahmad). "Ketika aku dimi'rajkan aku melihat ada satu kaum yang memiliki kuku-kuku panjang dari tembaga, sedang mencakari muka-muka dan dada-dada mereka sendiri. Maka aku bertanya pada Jibril, siapa mereka ini? Jawab Jibril, mereka adalah orang-orang yang suka memakan daging manusia dengan merusak kehormatan mereka." (HR. Abu Daud dan Ahmad)

Lalu, bagaimana caranya agar ghibah tidak menjadi kebiasaan kita? Paling tidak ada beberapa hal yang harus kita lakukan. Pertama, membiasakan berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Kebiasaan ini akan menuntun kita agar pandai memilih kata-kata yang pantas dan harus diucapkan dan kata-kata yang tidak pantas dan tidak perlu diucapkan. Dengan ini, kita akan mengetahui manfaat dan maslahatnya segala kata yang keluar dari mulut kita. Bahkan Nabi mengatakan, "Berkatalah yang baik atau diam."

Kedua, membiasakan introspeksi diri dan percaya diri. Introspeksi (muhasabah diri) ini akan membimbing kita pada sikap kehati-hatian saat berbicara dengan orang lain karena sebelum meng-ghibah keburukan dan kelemahan orang lain, ia akan menyelami keburukan dan kelemahan dirinya sendiri. Ini akan memunculkan rasa malu jika banyak meng-ghibah orang lain sementara ia sendiri penuh dengan aib dan cela. Selain introspeksi, kepercayaan diri juga sangat perlu ditanamkan. Ghibah biasanya muncul dari orang-orang yang tidak percaya pada diri sendiri, yang suka mengekor apa yang dikatakan orang, yang sering mengikuti apa saja yang dilakukan orang lain sehingga mudah menyerat ke perbuatan ghibah karena tidak mempunyai prinsip yang pasti dalam dirinya. Inilah yang menyebabkan ia lebih suka memerhatikan, menggunjing, dan menilai diri orang lain.

Ketiga, membiasakan diri pandai memposisikan diri. Hal ini akan mengarahkan kita pada sikap agar selalu ingat bahwa saat kita meng-ghibah dengan membicarakan aib orang lain, bayangkan jika aib kita pun sedang dibicarakan oleh orang lain, tentunya kita tidak mau jika aib kita dibicarakan orang. Dengan demikian, karena Muslim yang satu dengan Muslim lainnya adalah saudara, maka kewajiban kita adalah menjaga kehormatannya. Aib saudara kita adalah aib diri kita sendiri. Ketika kita melakukan ghibah dengan kita menceritakan aib saudara kita sesama Muslim, itu berarti sama dengan menceritakan aib diri kita sendiri.
Dengan begitu, kita akan berusaha menjaga lisan kita karena sesungguhnya keselamatan manusia diukur dari sejauh mana ia mampu menjaga lisannya.

Rasulullah saw. bersabda, "Muslim dengan Muslim lainnya itu bersaudara, tidak boleh mengkhianati, mendustakan dan menghina. Setiap Muslim dengan Muslim lainnya haram kehormatan, harta dan darahnya. Takwa itu di sini! (sambil nabi saw. menunjuk pada dadanya). Cukup disebut seorang itu jahat jika ia mencaci saudaranya sesama Muslim." (HR. Muslim)

Tags: ,
© 2013 The dark anco. All rights reserved.
Powered by Ancorez