HUKUM MEMPELAJARI FILSAFAT
by Gaptek_ancorez
Pada artikel filsafat menurut Al-Fa'raby ada seorang sahabat ancorez yang bertanya "apakah filsafat Al-Fa'raby itu sesat?".
Saya ucapkan banyak-banyak terimakasih untuk pertanyaan itu. Karena pertanyaan itu menginspirasi saya untuk membuat posting ini. Oke, kita mulai saja...
Bagaimana hukum mempelajari filsafat menurut agama?
Dalam hal ini ada tiga pendapat para ulama. Pendapat pertama mengatakan bahwa hukum nya adalah haram karena filsafat tidak akan terlepas dari sesatnya kaum fulasifah. Pendapat ini dimotori oleh Ibnu Ash-Sholah dan An-Nawawi. Pendapat kedua mengatakan bahwa hukumnya adalah jaiz (boleh), karena beberapa alasan. Sedangkan pendapat ketiga mengatakan bahwa hukumnya adalah wajib. Sebab bagaimana kita bisa mengetahui titik kesesatan fulasifah jika kita tidak mempelajarinya. Pendapat ini dimotori oleh Ibnu Rusyd dan beberapa ulama lainnya. Menurut Ibnu Rusyd, fungsi filsafat tidak lebih dari mengadakan penyelidikan tentang alam wujud dan memandangnya sebagai jalan untuk menemukan Zat yang membuatnya.
Saya pribadi sependapat dengan pendapat ketiga. Sebab al-Qur'an berkali-kali memerintahkan demikian, diantaranya dalam surat al-A'raf, ayat 185:
Juga dalam surat al-Hasyr ayat 2 disebutkan:
Ayat terakhir ini dengan jelas mengharuskan kita untuk mengambil qiyas 'aqli (sillogisme), atau qiyas 'aqli dan qiyas syar'i (qiyas menurut fiqh) bersama-sama. I'tibar dan nadhar yang dimaksudkan oleh kedua ayat tersebut adalah pengambilan suatu hukum yang belum diketahui (majhul) dari suatu hukum yang sudah diketahui (ma'lum), dan inilah yang disebut qiyas. Jadi kita harus mengarahkan pandangan kita pada alam wujud ini dengan qiyas 'aqli. Karena itu penyelidikan yang bersifat filosof menjadi suatu kewajiban.
Kalau seorang faqih berdasarkan ayat 2 dalam surat al-Hasyr tersebut di atas menetapkan adanya qiyas syar'i (qiyas dalam fiqih), maka berdasarkan ayat itu pula seorang filosof berhak menetapkan qiyas 'aqli. Kalau dikatakan bahwa qiyas 'aqli itu adalah suatu bid'ah, karena tidak ada pada masa permulaan islam, maka qiyas syar'i pun suatu bid'ah pula, karena memang tidak ada pada masa tersebut. Tapi meskipun demikian, tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa qiyas syar'i adalah bid'ah.
Kalau pengambilan qiyas 'aqli diwajibkan oleh syara' maka seorang ahli pikir harus mempelajari logika dan filsafat, meskipun itu adalah logika Aristoteles dan filsafat Yunani yang tidak berketuhanan. Kalau ada orang yang sesat karena mempelajari filsafat, hal itu bukan karena salahnya filsafat, tapi karena tidak adanya kesediaan (kesanggupan) untuk berfilsafat, atau karena ia mempelajarinya tanpa seorang guru. Tidak ubahnya seperti seorang yang minum air dingin, kemudian terseduk dan mati karenanya. Mati karena terseduk air adalah suatu kejadian insidentil atau pengecualian, begitupun orang yang sesat karena mempelajari filsafat adalah bukan merupakan suatu kelaziman.
Jadi perlu diingat sob !!
Bahwa tidak semua filsafat itu sesat, tergantung pada pribadi kita masing-masing.
Dan kewajiban mempelajari filsafat adalah untuk orang-orang yang mempunyai pandangan, yakni orang-orang yang akan memperdalam Al-Qur'an dan Al-Hadist..
Tags:
belajar filsafat ,
hukum mempelajari filsafat ,
philosophy
Saya ucapkan banyak-banyak terimakasih untuk pertanyaan itu. Karena pertanyaan itu menginspirasi saya untuk membuat posting ini. Oke, kita mulai saja...
Bagaimana hukum mempelajari filsafat menurut agama?
Dalam hal ini ada tiga pendapat para ulama. Pendapat pertama mengatakan bahwa hukum nya adalah haram karena filsafat tidak akan terlepas dari sesatnya kaum fulasifah. Pendapat ini dimotori oleh Ibnu Ash-Sholah dan An-Nawawi. Pendapat kedua mengatakan bahwa hukumnya adalah jaiz (boleh), karena beberapa alasan. Sedangkan pendapat ketiga mengatakan bahwa hukumnya adalah wajib. Sebab bagaimana kita bisa mengetahui titik kesesatan fulasifah jika kita tidak mempelajarinya. Pendapat ini dimotori oleh Ibnu Rusyd dan beberapa ulama lainnya. Menurut Ibnu Rusyd, fungsi filsafat tidak lebih dari mengadakan penyelidikan tentang alam wujud dan memandangnya sebagai jalan untuk menemukan Zat yang membuatnya.
Saya pribadi sependapat dengan pendapat ketiga. Sebab al-Qur'an berkali-kali memerintahkan demikian, diantaranya dalam surat al-A'raf, ayat 185:
"Apakah mereka tidak memikirkan tentang (yandhuru fi) alam langit dan bumi dan segala sesuatu yang dijadikan oleh Tuhan?".
Juga dalam surat al-Hasyr ayat 2 disebutkan:
"Hendaklah kamu mengambil ibarat (i'tibar; mengadakan qiyas=sillogisme), wahai orang-orang yang mempunyai pandangan".
Ayat terakhir ini dengan jelas mengharuskan kita untuk mengambil qiyas 'aqli (sillogisme), atau qiyas 'aqli dan qiyas syar'i (qiyas menurut fiqh) bersama-sama. I'tibar dan nadhar yang dimaksudkan oleh kedua ayat tersebut adalah pengambilan suatu hukum yang belum diketahui (majhul) dari suatu hukum yang sudah diketahui (ma'lum), dan inilah yang disebut qiyas. Jadi kita harus mengarahkan pandangan kita pada alam wujud ini dengan qiyas 'aqli. Karena itu penyelidikan yang bersifat filosof menjadi suatu kewajiban.
Kalau seorang faqih berdasarkan ayat 2 dalam surat al-Hasyr tersebut di atas menetapkan adanya qiyas syar'i (qiyas dalam fiqih), maka berdasarkan ayat itu pula seorang filosof berhak menetapkan qiyas 'aqli. Kalau dikatakan bahwa qiyas 'aqli itu adalah suatu bid'ah, karena tidak ada pada masa permulaan islam, maka qiyas syar'i pun suatu bid'ah pula, karena memang tidak ada pada masa tersebut. Tapi meskipun demikian, tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa qiyas syar'i adalah bid'ah.
Kalau pengambilan qiyas 'aqli diwajibkan oleh syara' maka seorang ahli pikir harus mempelajari logika dan filsafat, meskipun itu adalah logika Aristoteles dan filsafat Yunani yang tidak berketuhanan. Kalau ada orang yang sesat karena mempelajari filsafat, hal itu bukan karena salahnya filsafat, tapi karena tidak adanya kesediaan (kesanggupan) untuk berfilsafat, atau karena ia mempelajarinya tanpa seorang guru. Tidak ubahnya seperti seorang yang minum air dingin, kemudian terseduk dan mati karenanya. Mati karena terseduk air adalah suatu kejadian insidentil atau pengecualian, begitupun orang yang sesat karena mempelajari filsafat adalah bukan merupakan suatu kelaziman.
Jadi perlu diingat sob !!
Bahwa tidak semua filsafat itu sesat, tergantung pada pribadi kita masing-masing.
Dan kewajiban mempelajari filsafat adalah untuk orang-orang yang mempunyai pandangan, yakni orang-orang yang akan memperdalam Al-Qur'an dan Al-Hadist..
About : Ancorez Community