Tembakau dan Ranah Debat yang Melebar
by SabdaKaula
Kontroversi mengenai rokok hampir mendidih di sepanjang tahun 2010, dan berlanjut hingga 2011. Selalu terjadi tarik ulur dan pro kontra. Perdebatan muncul dalam ranah fatwa agama, undang-undang, regulasi pemerintah, sosial-ekonomi, dan tentu saja juga dalam konteks kesehatan.
Bahwa rokok itu tidak baik untuk kesehatan, mungkin hampir semua orang akan mengiyakan. Tapi, apakah rokok tidak baik secara moral, hal itu masih perlu dilihat lagi secara matang dan proporsional.
Beberapa aktivis anti rokok tampak terlalu bernafsu, sehingga kadang memaksa-maksakan nalar untuk menyatakan rokok itu melanggar norma agama dan masyarakat. Misalnya, mantan menteri kesehatan, Prof Farid A Moeloek, menyatakan bahwa rokok adalah pintu gerbang menuju kemaksiatan, penurunan moral dan generasi yang gagal. “Tidak ada orang yang minum alkohol, terkena HIV, atau memakai narkoba tanpa merokok terlebih dahulu,” katanya dalam sebuah acara di Hotel Sahid Surabaya, awal 2010 yang lalu. Farid juga mendesak agar rokok diperlakukan sama dengan narkoba.
Sementara itu, dalam ranah perdebatan keagamaan di dunia Islam, kalangan Wahabi, khususnya di Arab Saudi, dikenal paling getol menfatwakan rokok haram, tanpa ada pemilahan sedikitpun. Mereka menyatakan bahwa rokok termasuk dalam al-Khabâ’its (makanan keji) yang diharamkan oleh Allah dalam QS al-A’raf: 57.
Sebagian Wahabi juga menjadikan rokok sebagai salah satu senjata untuk menyudutkan dan melekatkan citra negatif terhadap orang-orang tarekat. Salah satunya Dr. Shabir Thuaimah (Mesir) dalam karyanya, ash-Shufiyah, Manhajan wa Maslakan. Shabir menganggap asap rokok adalah pemandangan wajib dalam momen-momen haul tokoh tarekat yang dipenuhi dengan cerita-cerita khurafat di kalangan mereka.
Begitu pula, Abu Abdillah al-Madani dalam karyanya Shufiyât Hijâziyah. Ia menertawakan Syekh Ahmad Zaini Dahlan, pemuka ulama dan tokoh sufi Hijaz, karena konon pernah merokok untuk menutupi wushûl-nya kepada Allah. Sebagaimana diceritakan oleh muridnya, Syekh Abu Bakar Syatha dalam Nafhatur-Rahmân, Syekh Zaini Dahlan sebenarnya tidak suka dengan orang yang merokok. Tapi, pada saat sedang menerima nur mukâsyafah beliau merokok untuk menyembunyikan kondisi dirinya. Orang Wahabi menganggap perbuatan Syekh Zaini Dahlan ini seperti Kabbah, seorang yang diyakini wali oleh penduduk Aleppo. Dia suka telanjang dan kencing di jalan, konon sebagai ritual untuk mengusir Israel.
Di Indonesia, ormas keagamaan yang terakhir kali mengeluarkan fatwa tentang rokok adalah Muhammadiyah. Pada bulan April 2010 yang lalu, PP Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid menyatakan bahwa merokok hukumnya haram. Landasan mereka karena dianggap merugikan dari segi kesehatan dan ekonomi. Sebelum Muhammadiyah, MUI juga mengeluarkan fatwa haram merokok bagi anak-anak remaja dan wanita hamil, juga merokok di tempat umum.
Sementara itu, kalangan Nahdlatul Ulama memandang rokok tergantung pada konteksnya. Umumnya mereka berpandangan bahwa hukum asli merokok adalah makruh. Hukum itu bisa berubah menjadi lebih ringan atau lebih berat apabila berkaitan dengan kondisi-kondisi tertentu.
Di sisi lain, para penikmat dan pecandu rokok juga terlalu bernafsu memaksa-maksakan nalar positif pada perbuatan mereka. Sehingga, ada yang menganggap rokok sebagai sumber inspirasi, kreativitas, konsentrasi, citra lelaki sejati, dan lain sebagainya.
Lalu, yang tak kalah seru adalah perdebatan dalam konteks pengaruhnya terhadap kehidupan sosial-ekonomi. Terjadi benturan wacana yang lumayan keras antara kelompok yang memikirkan pengaruh buruk rokok terhadap kesehatan, dan kelompok yang memikirkan pengaruh produksi rokok terhadap nasib petani tembakau, pemasukan bea cukai rokok yang cukup signifikan, juga serapan tenaga kerja yang lumayan besar dari industri rokok.
Yang cukup unik, di antara sekian banyak sudut pandang di arena perdebatan tersebut, ada yang mengamati rokok dari sisi keberadaannya sebagai warisan budaya bangsa. Ia menyatakan, rokok merupakan bagian dari warisan budaya Nusantara yang mestinya diakui, atau minimal tidak dihujat, apalagi dianggap sebagai kebiasaan yang melanggar moral. Dan, perlu diingat, sangat banyak tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh bangsa ini yang menjadi pecandu rokok, baik di masa lalu atau sekarang. Menghujat rokok sebagai kebiasaan yang melanggar moral akan sangat melukai hati bangsa ini.
Sudut pandang yang terakhir ini—meskipun nyaris tidak memberikan warna apa-apa dalam wacana kontroversi rokok yang marak saat ini—sepertinya perlu juga diapresiasi. Sangat bijak, kalau misalnya persoalan rokok cukup diamati dengan kacamata ekonomi dan kesehatan. Tidak perlu dibawa-bawa ke meja vonis moral, apalagi sampai didramatisir, dikait-kaitkan dengan minuman keras dan narkoba. Kalaupun mau ada vonis moral, hal itu bukan pada perbuatan merokoknya, tapi kaitannya dengan latar belakang tertentu dari perbuatan tersebut, misalnya ketika mengganggu orang di sekitarnya dan semacamnya, seperti poin-poin pertimbangan yang disebutkan dalam fatwa MUI.
Jadi, sementara ini, yang disepakati dalam kontroversi rokok hanyalah dampak buruknya bagi kesehatan. Mengenai dampak-dampak lain di luar itu masih bersifat kondisional, dan sangat bergantung kepada sudut pandang yang dipakai oleh masing-masing orang.
Namun demikian, bagaimanapun, bebas asap rokok, secara umum, tetap lebih baik dan lebih aman bagi siapapun. Akan tetapi, untuk pihak-pihak yang belum bebas dari asap rokok bukan berarti hal itu adalah sebuah keburukan. Merokok sah-sah saja. Hal itu adalah pilihan asasi dari masing-masing orang. Dan, tentu saja hak dan pilihan tersebut harus dibatasi dengan ketentuan tidak mengganggu atau merugikan orang lain, dan pelakunya bukan anak-anak yang belum dapat menentukan pilihan terbaik bagi dirinya sendiri.
Syahdan, setelah perdebatan sengit itu semakin memanas, bangsa Indonesia sepertinya tetap merasa enjoy menjadi ladang investasi tembakau yang subur bagi para pengusaha dari luar negeri. Amboi…
Ahmad Dairobi/BS
posted on buletin sidogiri, bagaimana menurut anda tentang masalah tembakau ini???
About : Ancorez Community